Jumat, 02 Mei 2008
pahlawan nasional
| ||||||||||||||||||||||||
| |
pahlawan plokamator
Nama: Dr Mohammad Hatta (Bung Hatta) Lahir: Bukittinggi, 12 Agustus 1902 Wafat: Jakarta, 14 Maret 1980 Istri: Rahmi Rachim (alm) Anak: Meutia Farida Gemala Halida Nuriah Gelar Pahlawan: Pahlawan Proklamator RI tahun 1986 Pendidikan: Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi, 1916 Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang, 1919 Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Jakarta, 1921 Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda (dengan gelar Drs), 1932 Kegiatan: Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Padang, 1916-1919 Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Jakarta, 1920-1921 Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda, 1925-1930 Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, di Berlin, 1927-1931 Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), 1934-1935 Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang, April 1942 Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, Mei 1945 Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 7 Agustus 1945 Proklamator Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 Wakil Presiden RI pertama, 18 Agustus 1945 Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Januari 1948-Desember 1949 Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari ratu Juliana, 1949 Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet RIS, Desember 1949-Agustus 1950 Mengundurkan diri dari jabatan Wapres, 1 Desember 1956 Dosen di Sesko AD, Bandung, 1951-1961 Dosen di UGM, Yogyakarta, 1954-1959 Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi, 1969 Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila, 1975 | | Mohammad Hatta Bapak Bangsa SejatiHari ulang tahun Mohammad Hatta atau kita akrab menyapa dengan Bung Hatta yang ke-100, Senin 12 Agustus 2002 patut dirayakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Beliau Proklamator Kemerdekaan RI, bersama Bung Karno, berani membubuhkan tanda tangannya pada naskah proklamasi yang mengantarkan kita menjadi bangsa merdeka dan berdaulat, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Beliau adalah Bapak Bangsa Sejati. Keberanian membubuhkan tanda tangan itu bukan tanpa risiko. Oleh penjajah, mereka bisa dituduh sebagai pemimpin pemberontakan, makar, penggulingan kekuasaan, bahkan kemungkinan akan dinyatakan sebagai penjahat perang. Sehingga tak heran bila ketika itu ada tokoh pergerakan kemerdekaan yang secara terang-terangan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Meskipun Jepang telah takluk dalam Perang Pasifik dan PD II, tetapi Jepang masih belum memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Di lain pihak, Belanda yang telah lama menjajah kepulauan nusantara dan hanya 3,5 tahun diselingi Jepang, masih bernafsu untuk kembali menduduki bekas koloninya. Maka, bila rakyat Indonesia tidak bisa bertahan dan mempertahankan kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta-lah yang paling dianggap bertanggung jawab atas segala kekacauan dan peralihan kekuasaan pemerintahan secara illegal. Tetapi Bung Karno dan Bung Hatta telah yakin pada diri mereka, bangsa Indonesia telah sadar akan arti pentingnya kemerdekaan. Bangsa Indonesia akan mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya untuk menyelamatkan mereka berdua, tetapi menyelamatkan kebebasan dan kesempatan hidup berbangsa dan bernegara secara berdaulat.
Menyelamatkan harga diri bangsa. Proklamasi kemerdekaan adalah ungkapan paling lantang akan semangat besar untuk hidup sebagai bangsa yang berdiri sendiri dan tidak dikangkangi penjajah. Proklamasi kemerdekaan, itulah hadiah terbesar yang diterima bangsa Indonesia dari dua tokoh besar yang lahir satu abad silam.
Padahal, pejabat lain melakukan hal buruk itu. Kalau saja ia mau melakukan korupsi, barangkali bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia memiliki saham di pabrik sepatu dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat. Bila dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.
Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya—hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek terkenal.
Bahkan, dalam berbagai versi disebutkan, untuk membayar rekening air dan listrik, Bung Hatta yang mengandalkan hidupnya dari uang pensiunan seorang wakil presiden ternyata tidak cukup. Apalagi untuk membeli keperluan lain, seperti sepatu, yang dianggap oleh dirinya sebagai pemenuhan kebutuhan pribadi. Ia masih memikirkan kehidupan keluarga, istri dan tiga orang anaknya.
Maka, ia menikmati hidup dari uang pensiun. Dengan jumlah yang tidak seberapa, namun mampu melaksanakan gaya hidup yang hemat, uang pensiun itu “cukup” menghidupinya sekeluarga. Bagi Bung Hatta, tentu saja sangat mudah menerima tawaran bekerja dari berbagai perusahaan, baik lokal maupun internasional. Tetapi, bagaimana dengan citra wakil presiden. Bagaimana mungkin seorangmantan wakil presiden menjadi konsultan perusahaan A. Apakah hal itu tidak memunculkan bias dalam persaingan usaha, mengingat hebatnya pengalaman Bung Hatta? Inilah yang Bung Hatta hindari. Ia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara.
Sehingga pengetahuan mereka akan terus terbuka dengan membaca berbagai informasi yang beragam. Diharapkan nantinya akan muncul pemahaman yang baik mengenai perjalanan mengisi kemerdekaan. Tentu, membaca tidak akan berguna banyak bila tidak ada bahan bacaan. Maka, Bung Hatta secara konsisten membuat tulisan yang menggugah semangat kemerdekaan, mewujudkan cita-cita negara setelah kemerdekaan, mengelola negara dengan baik agar tidak malah menyusahkan rakyat di era yang sudah merdeka, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan berbagai tulisan lainnya.
Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi dengan benar. Jelas, bagi Bung Hatta ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Bung Karno, sahabatnya sejak masa perjuangan kemerdekaan, telah dilakukan. Tetapi, Bung Karno todak berubah sikap. Hatta pun tidak menyesuaikan sikap dengan Bung Karno. Karena merasa tidak mungkin lagi menjalin kerja sama, akhirnya Bung Hatta memilih mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada Bung Karno untuk membuktikan konsepsinya.
Bung Hatta memang tidak pernah menjadi presiden republik ini meski bila ditinjau dari jasa, pengetahuan, peran, dan risiko yang diambilnya, ia layak untuk menduduki jabatan itu. Kesempatan memang tidak datang padanya. Tetapi, ia telah menjadi bapak bangsa dengan moralitas tinggi. Ia adalah cermin dari tokoh yang lurus dan bersih serta memiliki nama baik yang senantiasa dijaganya. Sampai kini, nama Bung Hatta tetap baik dan harum di sanubari Bangsa Indonesia.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) dari Kompas dan berbagai sumber) |